Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, meninggal pada Sabtu setelah dinyatakan positif COVID-19.
Mantan pilot Garuda Indonesia itu sempat menjalani hukuman penjara, bebas dua tahun lalu dan terjun ke dunia politik sebelum didiagnosis mengidap penyakit mematikan itu dan dirawat di rumah sakit lebih dari dua pekan lalu.
Mantan pengacaranya, Wirawan Adnan, membenarkan kematiannya setelah mendapat kabar dari istri Pollycarpus, Yosepha Hera Iswandari. Dia berusia 59 tahun.
“Dia meninggal pada pukul 14.52 di RS Pertamina [in Jakarta], ”Kata Wirawan seperti dikutip kompas.com.
Munir mengkritik militer atas penculikan aktivis mahasiswa menjelang akhir kediktatoran Soeharto dan terlibat dalam penyusunan banyak undang-undang hak asasi manusia hingga kematiannya pada usia 39 tahun. Ia dibunuh dengan dosis mematikan arsenik diduga tertelan saat singgah di Singapura dalam penerbangan Garuda dari Jakarta ke Amsterdam pada 6 September 2004.
Kasus pembunuhan profil tinggi mendorong keputusan pengadilan yang terlalu rumit yang mengungkap kelemahan dalam sistem peradilan Indonesia.
Pollycarpus divonis 14 tahun penjara pada akhir tahun 2005 atas perannya dalam pembunuhan tersebut. Mahkamah Agung membebaskannya pada tahun berikutnya, dengan alasan kurangnya bukti tetapi kemudian menerima peninjauan kasus oleh jaksa penuntut pada tahun 2007 yang mengembalikan hukuman pembunuhannya dan memperpanjang hukumannya menjadi 20 tahun penjara.
Dia diberikan pembebasan bersyarat pada tahun 2014 dan secara resmi menyelesaikan hukumannya pada tahun 2018.
Baca juga: Pollycarpus, terpidana pembunuh Munir resmi bebas
Mantan awak kabin Garuda, Rohainil Aini, dipenjara selama setahun karena terlibat dalam pembunuhan tersebut, namun tersangka dalang mantan Wakil Badan Intelijen Negara (BIN), Muchdi Purwoprandjono, dibebaskan dari semua tuduhan pada akhir 2007.
Menurut istrinya, Pollycarpus meninggal karena COVID-19, namun kematiannya menimbulkan pertanyaan dan mendorong para aktivis untuk menyerukan penyelidikan yang tepat.
Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan dalam sebuah diskusi virtual bahwa keadaan kematiannya harus diselidiki oleh pihak berwenang, jika hanya untuk mengesampingkan kecurigaan adanya kecurangan.
“Mereka bilang itu karena COVID-19, tapi faktanya itu [Pollycarpus] memiliki banyak informasi penting yang bisa mengarah pada penyelidikan lebih lanjut, ”kata Usman, Minggu.
Aktivis yang merupakan rekan sejawat Munir dan tergabung dalam tim pencari fakta yang menyelidiki kematiannya itu, menyerukan agar dilakukan penyelidikan baru oleh polisi dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang baru saja membentuk sebuah tim kecil untuk menindaklanjuti berita meninggalnya Pollycarpus.
“Tapi meski memang ada kebutuhan untuk mencari tahu keadaan pastinya [surrounding his death], itu harus dilakukan secara memadai dan obyektif, ”kata Usman.
Aktivis juga telah meminta pemerintah untuk membentuk tim pencari fakta baru untuk menyelidiki orang-orang lain yang diduga terlibat dalam pembunuhan tersebut, yang diyakini banyak orang sebagai orang penting seperti yang dituduhkan dalam laporan investigasi tahun 2005 oleh tim pencari fakta kasus tersebut.
Baca juga: Jalan panjang untuk melihat keadilan atas pembunuhan Munir
Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) sebelumnya mengatakan, kematian Pollycarpus seharusnya tidak mengakhiri penyelidikan kematian Munir.
“Perlu dicatat bahwa pembunuhan Munir bukan hanya kejahatan tetapi konspirasi yang melibatkan banyak pihak selain Pollycarpus yang harus ditemukan, diadili dan dihukum,” kata Sekretaris Jenderal KASUM dan Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam keterangan tertulisnya. pada hari Sabtu.
Sementara itu, para ahli kriminal mengatakan kematiannya seharusnya tidak menghalangi penegakan hukum untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
“Seharusnya tidak ada alasan untuk berhenti hanya karena [Pollycarpus] mati, kalau penegak hukum benar-benar mau, ”kata pakar hukum Universitas Trisakti Yenti Garnasih The Jakarta Post pada hari Minggu.
“Ini adalah pembunuhan berencana. Jadi, tanggung jawab negara untuk mencari tahu siapa sebenarnya di balik kasus ini. “
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan lebih prihatin bahwa penyelidikan dapat dikompromikan oleh undang-undang pembatasan, yang akan berakhir pada 2022. “Dengan kematiannya, kami kehilangan salah satu sumber,” kata Agustinus. Pos.
Menurut Pasal 78 KUHP, batasan undang-undang untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup adalah 18 tahun.
“Kami masih bisa menemukan lebih banyak [after 2022], tetapi kami tidak dapat mengajukan tuntutan. Namun penemuan apapun tetap relevan dan penting terutama untuk mencegah kasus serupa terjadi di kemudian hari, ”kata Agustinus. (selalu)
“Rentan terhadap sikap apatis. Penggila musik yang setia. Pembuat masalah. Analis tipikal. Praktisi alkohol. Pecandu makanan. Penggemar TV yang bergairah. Pakar web.”