UU Cipta Kerja yang baru disahkan masih memuat beberapa ketentuan pendidikan kontroversial yang sebelumnya disebut-sebut telah dicabut dari RUU tersebut menyusul kritik publik.
Pemerintah dan DPR pernah setuju untuk menghapus masalah yang terkait dengan sektor pendidikan dari tagihan. Namun, rancangan akhir undang-undang tersebut, yang salinannya telah diperoleh The Jakarta Post, mencakup setidaknya dua artikel tentang pendidikan.
Pasal 26 pada halaman 100 draf, pada Bab III tentang perbaikan ekosistem investasi, menyebutkan pendidikan dan budaya di antara 15 sektor dalam kategori perizinan usaha.
Lebih lanjut, Pasal 56 halaman 392 mengatur bahwa pelaksanaan perizinan di bidang pendidikan “dapat dilakukan melalui perizinan usaha” yang rinciannya akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP) tersendiri.
Ketua Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, Syaiful Huda, mengaku kecewa atas ketentuan dalam draf final, dengan alasan panitia kerja RUU itu menyatakan semua ketentuan pendidikan akan dicabut.
“Saya kecewa […] Saya mendesak para pemangku kepentingan pendidikan yang menentang pasal itu untuk menggugat undang-undang di Mahkamah Konstitusi, ”ujarnya kepada pers, Selasa.
Baca juga: Bukan cara yang tepat untuk melakukan pekerjaan itu
Syaiful mengaku khawatir pasal-pasal itu bisa memicu komersialisasi sektor pendidikan.
“Saya melihat ada upaya untuk mengkomersialkan sektor pendidikan. Kami tidak setuju dari awal karena tidak sesuai dengan UUD, ”kata politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Sejumlah anggota DPR, terutama yang memiliki kedekatan dengan ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), termasuk PKB, sebelumnya menentang ketentuan pendidikan dalam RUU tersebut, mengungkapkan keprihatinan tentang persyaratan bagi masyarakat yang memiliki izin usaha dari pemerintah pusat untuk mendirikan lembaga pendidikan.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Baidowi, Rabu, mengatakan alasan memasukkan Pasal 65 dalam draf final adalah untuk mengakomodasi rencana pemerintah mendirikan lembaga pendidikan di kawasan ekonomi khusus (KEK).
Dia menyoroti kata “bisa” dalam ketentuan tersebut, yang artinya tidak ada kewajiban untuk memperoleh izin usaha.
“Kami taruh kata ‘bisa’ di sana sehingga mereka boleh mendapat izin tapi tidak diwajibkan,” kata politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
“Penyelenggara. Pakar budaya pop yang sangat menawan. Penginjil perjalanan kelas atas. Pemecah masalah yang tak tersembuhkan.”