“Itu adalah proses yang panjang. Tapi saya memutuskan untuk menjadi artis full time,” katanya, seraya menambahkan bahwa dia berhenti dari pekerjaan akuntansinya pada tahun 2012.
Saat itu, Hardjodimuljo hanya melukis tokoh wayang di atas kanvas. Dia membuat boneka pertamanya pada tahun 2013.
“Saya pernah mengikuti pameran Jakarta Biennale. Tema (pameran) adalah ‘Seni di Antara Kita,’” katanya.
BACA: Penenun tradisional Bangladesh tergantung pada seutas benang saat pabrik booming
“Saat itu saya menjadi sukarelawan mengajar seni di sebuah kampung di tepi Sungai Ciliwung. Ada banjir besar tahun itu dan air menghanyutkan plastik, kayu lapis dan botol ke tempat saya berada, ”lanjut seniman itu. “Saya berpikir, saya bisa membuat wayang dari benda-benda ini.”
Apa yang dimulai sebagai proyek pameran untuk Hardjodimuljo segera menjadi obsesi.
“Saya suka membuat wayang dari sampah. Saya bisa berinovasi dengan bahan yang berbeda. Ini mendorong kreativitas saya. Setiap kali saya melihat sampah, saya langsung berpikir, ‘Apa yang bisa saya dapatkan dari ini?’” katanya.
BAYANGAN BAYANGANNYA YANG UNIK
Hardjodimuljo dengan bangga memamerkan koleksi Wayang Uwuh – uwuh dalam bahasa Jawa – di studionya, bersama dengan beberapa lukisan kanvas dan kaca yang menggambarkan subjek favoritnya – wayang.
Di lantai studionya yang kecil terdapat boneka-boneka yang terbuat dari botol-botol air yang dipipihkan dan lembaran plastik bergelombang yang dihiasi tidak lebih dari garis-garis hitam dan detail dari wajah dan pakaian mereka.
Wayang yang lebih berwarna biasanya terbuat dari karton, wadah makanan dan kotak kertas dan dicat dengan cat akrilik dan spidol permanen.
Meski banyak seniman yang menciptakan seni dari bahan daur ulang, hanya Hardjodimuljo yang mengubahnya menjadi wayang.
“Penyelenggara. Pakar budaya pop yang sangat menawan. Penginjil perjalanan kelas atas. Pemecah masalah yang tak tersembuhkan.”