Memperingati Hari Kesaktian Pancasila, mahasiswa mungkin bertanya-tanya apakah ideologi dasar negara tetap relevan dengan kehidupan sehari-hari di negeri ini.
Keingintahuan publik ini masuk akal karena tidak lagi dianggap oleh banyak orang sebagai ideologi penggalang, baik secara teori maupun praktik. Pancasila terkesan tertinggal di hati dan pikiran mahasiswa karena pemerintah setengah hati mengarusutamakan ideologi negara. Banyak yang menganggapnya tidak mampu mengatasi beragam masalah negeri ini.
Kegagalan upaya pengarusutamaan Pancasila terkait erat dengan preferensi pemerintah terhadap pendekatan politik daripada budaya. Dilihat dari perspektif itu, saya memandang bahwa sastra dan karya sastra dapat memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam pikiran dan hati masyarakat.
Membaca karya sastra mendorong siswa untuk lebih bijaksana. Setiap kali pembaca membaca karya sastra, mereka dapat menemukan aspek moral dan estetika. Terlepas dari penekanan mereka yang berbeda pada aspek-aspeknya, penulis berusaha untuk menyeimbangkan pesan moral mereka agar tidak menimbulkan efek menghakimi pada pembaca dan mengontrol fitur estetika mereka sehingga karya mereka tidak akan kosong dari pesan yang kuat.
Upaya penyampaian pesan moral Pancasila, misalnya, dapat diterapkan melalui pemaparan unsur intrinsik novel atau cerpen kepada pembaca. Memahami plot — rangkaian peristiwa berdasarkan sebab dan akibat — membujuk pembaca untuk bersabar. Pembaca yang baik berusaha menangkap ide dan struktur naratif sebuah cerita melalui pemahaman mereka tentang plot. Mereka tidak akan pernah menyimpulkan sementara mereka belum sampai pada klimaks. Kegigihan mereka dalam mengikuti alur secara berurutan membuat mereka tidak langsung mengambil kesimpulan dan malah memiliki inferensi yang lebih baik.
Menikmati karya sastra hampir sama dengan menjalani hidup. Orang sering curiga bahwa seorang selir dikutuk setelah hubungan seksual di luar nikahnya yang berkelanjutan dengan banyak pria. Melalui novel YB Mangunwijaya, Burung-Burung Manyar, yang diterbitkan pada tahun 1981, orang dapat belajar bahwa menjadi selir bukan hanya tentang hidup bersama dengan pria yang bukan pasangannya. Sebaliknya, ini ada hubungannya dengan kekaisaran
kompleksitas dan masalah kelangsungan hidup. Ini mendorong siswa untuk lebih reflektif daripada menghakimi.
Konflik yang terjadi dalam novel Mangunwijaya melarang banyak pihak untuk menuding keruwetan perempuan di satu sisi dan mendorong rasa kompromi di kalangan mahasiswa di sisi lain. Bangsa ini selalu sangat membutuhkan kompromi dan akomodasi, yang pada dasarnya menegakkan sila keempat Pancasila tentang demokrasi.
Menelusuri Para Priyayi karya Umar Kayam, siswa akan tercerahkan bagaimana menempatkan pluralisme di atas tumpuan dalam konteks Indonesia. Dalam karyanya, Kayam menulis tentang nilai-nilai bangsawan yang tidak identik dengan feodalisme. Aristokrasi digambarkan sebagai pelindung kemanusiaan. Seseorang bisa menjadi bangsawan yang sah jika dia memiliki kesadaran sosial dan bukan karena sistem feodal.Novel ini merevolusi pola pikir mahasiswa tentang aristokrasi.
Menghormati pluralisme membawa siswa ke titik di mana mereka menghargai kebenaran dan relativisme. Bagi penulis, karya sastra menunjukkan suara dari berbagai kebenaran karena mereka menganggap kebenaran sebagai hal yang pribadi. Sebuah kebenaran bagi Hamka, misalnya, belum tentu sejalan dengan apa yang dianggap kebenaran oleh YB Mangunwijaya. Sementara yang pertama percaya bahwa kebenaran ditopang oleh prinsip-prinsip agama, yang kedua menganggapnya berasal dari perintah hati nurani. Kemajemukan agama dan keberagamaan berurusan dengan keadilan, yang merupakan manifestasi dari yang kelima sila Pancasila.
Tak kalah pentingnya adalah sastra berkhasiat dalam mendorong siswa untuk mencintai sejarah. Menghargai Pancasila berarti mengakui pentingnya sejarah. Berbagai peristiwa atau peristiwa untuk mengubah Pancasila sebagai ideologi dasar negara di masa lalu harus direspons dengan mendorong pelajar untuk mencintai sejarah negara. Hal ini terutama benar karena Pancasila juga merupakan produk sejarah.
Mengajar dan membaca sastra berperan penting dalam membuat sejarah lebih hidup, berkat kreativitas dan imajinasi penulis. Kedua alat berfungsi untuk memberi energi pada alur cerita yang pada gilirannya menghasilkan pesan yang lebih dramatis kepada pembaca. Ambil contoh Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Sementara rezim Orde Baru Soeharto menerapkan tindakan tegas terhadap tahanan politik yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kini dilarang, Ronggeng Dukuh Paruk berhasil meningkatkan kesadaran mahasiswa tentang penderitaan warga sipil biasa pasca gejolak politik Indonesia di 1960-an.
Pendekatan politik yang dilakukan pemerintah kepada anggota PKI dalam upaya melestarikan Pancasila hanya akan menimbulkan dendam dan permusuhan historis karena menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, melalui karakter fiksinya, Ronggeng Dukuh Paruk menginspirasi siswa untuk memiliki pandangan yang lebih seimbang terhadap mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI. Pesan-pesan prinsip Pancasila jatuh bebas ketika keadilan direnggut bahkan dari mereka yang bercita-cita untuk mendekonstruksi ideologi negara seperti PKI.
Cukup beralasan bahwa sebuah karya sastra mampu membuat siswa lebih dinamis karena efek katarsisnya pada pembaca. Mereka yang tergoyahkan pikirannya dan tersentuh hatinya setelah membaca novel, cerpen, atau puisi siap untuk berubah dan menerima kebenaran baru daripada mereka yang telah diindoktrinasi secara politik untuk membela Pancasila. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya sastra dapat berkontribusi untuk meluruskan atau meluruskan sejarah, khususnya untuk menelaah makna Hari Kesaktian Pancasila saat ini dan momen-momen perayaan lainnya.
“Penyelenggara. Pakar budaya pop yang sangat menawan. Penginjil perjalanan kelas atas. Pemecah masalah yang tak tersembuhkan.”