JAKARTA: Arief Witjaksono mengenang perasaan heboh ketika beberapa temannya mengajaknya bergabung di bisnis peternakan ayam pada 2018 lalu.
Ayam adalah protein yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia, sorot teman-temannya kepadanya. Dan dengan jutaan pelanggan potensial, prospek pertumbuhannya sangat cerah.
“Itu tidak punya otak. Yang pasti, saya akan menghasilkan uang, ”pikir pria berusia 38 tahun itu saat itu.
Tapi usaha itu berakhir dengan bencana. Terlepas dari upaya terbaik mereka, banyak ayam mati dan peternakan, yang terletak di pinggiran barat ibu kota Indonesia, Jakarta, merugi.
Vitjaksono dengan cepat menyadari bahwa ladangnya – dan banyak ladang serupa lainnya di negara ini – bergantung pada pekerja yang terbiasa melakukan hal-hal dengan cara tradisional. Mereka menggunakan metode pemeliharaan unggas yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dengan sedikit dasar ilmiah dalam pengoperasiannya.
Sebagian besar peternakan ayam di Indonesia tidak memiliki termometer atau pengontrol kipas untuk memastikan ayam dipelihara pada suhu optimal. Pekerja juga cenderung memberi makan ayam dengan interval yang tidak teratur, tergantung pada ketersediaan dan suasana hati mereka.
“Peternakan sangat tidak efisien,” kata Vitjaksono kepada CNA, menambahkan bahwa sejak saat itu, dia memutuskan untuk mencurahkan upayanya untuk memodernisasi peternakan ayam di negara tersebut.
Vitjaksono, yang saat itu bekerja untuk bisnis kelapa sawit keluarganya, kemudian ikut mendirikan sebuah start-up bernama Pitik pada Juni 2021. Tujuan dari start-up ini adalah untuk membekali para peternak ayam dengan teknologi dan pengetahuan untuk membantu mereka. menjalankan bisnis mereka dengan lebih efisien.
Saat ini, Pitik yang berarti “ayam” dalam bahasa Jawa setempat, bekerja sama dengan lebih dari 500 peternakan ayam di seluruh Indonesia. Peternakan masing-masing dilengkapi dengan sensor, feed hopper, heater dan kipas yang dapat dikendalikan dari jarak jauh menggunakan smartphone.
CEO Pitik mengatakan, teknologi tersebut memungkinkan angka kematian ayam turun. Pada saat yang sama, rasio konversi pakan – proporsi antara bobot ayam dan jumlah pakan yang dikonsumsi – meningkat secara signifikan. Tim Pitik juga memudahkan petani untuk meningkatkan usahanya.
“Sebelum datangnya Pitik, kami kesulitan beternak beberapa ratus ekor ayam saja, karena semuanya kami lakukan secara manual dengan cara yang sederhana. Tapi dengan bantuan teknologi, mudah bagi kami untuk beternak 35.000 bahkan 40.000 ekor ayam,” kata salah satu pengguna Pitik, Syuaeb, yang seperti banyak orang Indonesia menggunakan satu nama.
“Penyelenggara. Pakar budaya pop yang sangat menawan. Penginjil perjalanan kelas atas. Pemecah masalah yang tak tersembuhkan.”